Ratna Sarumpaet merupakan salah satu tokoh publik Indonesia yang namanya kerap kali mencuri perhatian, baik karena kiprahnya di dunia seni dan aktivisme, maupun karena keterlibatannya dalam sejumlah kontroversi politik yang mencolok. Sosoknya dikenal sebagai seniman teater yang vokal, aktivis hak asasi manusia yang lantang, serta tokoh politik yang tak segan melontarkan kritik terhadap kekuasaan. Namun, di balik reputasinya sebagai pejuang suara rakyat, Ratna juga menyimpan jejak kontroversi yang membuat namanya tercoreng di mata sebagian publik.
Ratna memulai kiprahnya sebagai seniman teater sejak era Orde Baru. Ia dikenal lewat karya-karya pementasan yang sarat dengan kritik sosial dan keberpihakannya terhadap kaum marjinal. Pada masa itu, keberanian Ratna untuk menyuarakan ketidakadilan melalui panggung teater membuatnya disegani dan dihormati, terutama oleh kalangan aktivis dan intelektual. Ia juga aktif dalam berbagai aksi sosial dan kemanusiaan, termasuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan korban kekerasan negara.
Namun, citra tersebut mulai berubah seiring dengan keterlibatannya dalam politik praktis. Ratna menjadi salah satu tokoh yang bergabung dalam barisan oposisi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia secara terbuka mengkritik berbagai kebijakan pemerintah dan mendukung calon presiden dari kubu lawan. Di titik ini, opini publik mulai terbelah: sebagian tetap melihatnya sebagai pejuang demokrasi, sementara sebagian lainnya menilainya sebagai figur yang memanfaatkan posisi sosialnya untuk kepentingan politik tertentu.
Kontroversi terbesar dalam perjalanan karier Ratna Sarumpaet terjadi pada tahun 2018, ketika ia mengaku menjadi korban penganiayaan oleh sekelompok orang tak dikenal. Pernyataan ini segera menyulut kehebohan nasional, terutama karena ia merupakan bagian dari tim sukses salah satu pasangan calon presiden. Banyak tokoh politik dan masyarakat menunjukkan solidaritas, mengecam tindakan kekerasan tersebut, dan menuntut aparat segera mengusut kasusnya.
Namun, hanya dalam hitungan hari, kebohongan itu terbongkar. Ratna ternyata tidak mengalami penganiayaan, melainkan menjalani operasi plastik pada wajahnya. Pengakuan ini tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga memicu gelombang kemarahan dan kekecewaan. Banyak pihak merasa dibohongi, dan tidak sedikit yang menilai bahwa tindakan tersebut mencederai demokrasi dan menciptakan preseden buruk dalam kontestasi politik nasional. Ratna kemudian diproses secara hukum dan divonis bersalah karena menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran. https://ratnasarumpaet.id/
Insiden ini menjadi titik balik yang tajam dalam karier dan reputasi Ratna Sarumpaet. Dari seorang seniman dan aktivis yang dihormati, ia berubah menjadi simbol manipulasi informasi dan politisasi kebohongan. Meski demikian, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa hukuman sosial dan politik yang ia terima sudah terlalu berat, dan bahwa publik cenderung melupakan kontribusinya di masa lalu hanya karena satu kesalahan besar yang ia perbuat.
Kisah Ratna Sarumpaet memperlihatkan betapa tipisnya batas antara kritik yang konstruktif dan kontroversi yang destruktif. Ia adalah contoh nyata bagaimana seorang tokoh publik dapat diangkat dan dijatuhkan oleh opini massa, serta bagaimana media dan politik dapat memperbesar dampak dari sebuah tindakan individu. Dalam era informasi yang serba cepat dan penuh polarisasi seperti sekarang, narasi tentang kebenaran, integritas, dan kepercayaan menjadi semakin rumit.
Akhirnya, Ratna Sarumpaet adalah gambaran kompleks dari seorang individu yang pernah menjadi simbol perlawanan, namun kemudian tersandung oleh ambisi dan kesalahan sendiri. Ia mengajarkan bahwa keberanian menyuarakan kebenaran harus disertai tanggung jawab moral, dan bahwa kepercayaan publik adalah aset yang bisa hancur dalam sekejap, namun sangat sulit untuk dibangun kembali.